1. Teori-Teori seputar Pragmatik
a. Deiksis
Kata
deiksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu deiktitos yang berarti “hal
penunjukan secara langsung”. Istilah tersebut digunakan oleh tata bahasawan
Yunani dalam pengertian “kata ganti petunjuk”.
Berdasarkan
etimologi tersebut, dapat dikemukakan beberapa penjelasan mengenai deiksis.
Agustina mengungkapkan bahwa deiksis adalah kata atau frasa yang menunjuk
kepada kata, frasa atau ungkapan yang telah dipakai atau yang akan diberikan. Purwo
menjelaskan bahwa sebuah kata dikatakan deiksis apabila referennya berpindah-pindah
atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan
tergantung kepada saat dan tempat dituturkannya kata itu.[1]
Selaras dengan Purwo, Wijana mengungkapkan bahwa deiksis adalah kata-kata yang
memiliki referen berubah-ubah atau berpndah-pindah.[2]
Perhatikan contoh berikut ini!
Buyung :
Hari ini saya akan pergi ke Bali. Kalau kamu?
Liyesra :
saya santai di rumah.
Kata
saya di atas adalah kata ganti dari dua orang. Kata pertama adalah kata
ganti untuk Buyung, dan kata kedua adalah kata ganti untuk Liyesra. Dari contoh
tersebut, kata saya memiliki referen yang berpindah-pindah sesuai dengan
konteks pembicaraan.
Dalam KBBI deiksis
diartikan sebagai hal atau fungsi menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata yang
mengacu kepada persona, waktu, dan tempat suatu tuturan.
Hindun
[3]
memaparkan contoh-contoh deiksis yaitu: pertama, deiksis persona,
seperti kata aku, kamu, dia; kedua deiksis ruang, seperti kata ini,
itu, sini, sana; ketiga, deiksis waktu, seperti kata kemarin,
sekarang, besok, lusa.
b. Implikatur
Berkaitan dengan pengertian implikatur,
berikut disajikan pendapat yang dikemukakan oleh ahli-ahli bahasa. Menurut
Brown dan Yule istilah implikatur dipakai untuk menerangkan apa yang mungkin
diartikan, disarankan atau dimaksdukan oleh penutur yang berbeda dengan apa
yang sebenarnya yang dikatakan oleh penutur.[4]
Nababan
menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang
terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep itu kemudian dipahami untuk
menerangkan perbedaan antara hal yang “diucapkan” dan hal yang
“diimplikasikan”.[5]
Sementara
itu, Levinson memandang konsep implikatur memiliki empat kegunaan. Pertama, implikatur
mampu memberi penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan
yang tidak terjelaskan kemudian dimasukkan ke dalam “keranjang-keranjang sampah
pengecualian” oleh teori-teori gramatikal formal. Kedua, implikatur
mampu memberikan penjelasan mengapa suatu tuturan,misalnya dalam bentuk
pertanyaan tetapi bermakna perintah. Ketiga, implikatur dapat
menyederhanakan deskripsi semantis antarklausa. Keempat, implikatur dapat
menjelaskan fenomena kebahasaan yang tampak tidak berkaitan atau bahkan
berlawanan, tetapi ternyata mempunyai hubungan yang komunikatif.[6]
Secara
sederhana, implikatur dapat diartikan sebagai makna tambahan yang disampaikan
oleh penutur yang terkadang tidak terdapat dalam tuturan itu sendiri.
I Dewa Putu Wijana[7]
memaparkan jenis-jenis implikatur yaitu: pertama, implikatur percakapan
umum, yakni implikatur yang kehadirannya di dalam percakapan tidak memerlukan
konteks khusus.
Contoh: Saya menemukan uang (uang
itu bukan milik saya).
Kedua, implikatur berskala,
yakni implikatur yang ditandai dengan istilah-istilah untuk mengungkapkan
kuantitas dari skala nilai tertinggi ke nilai terendah. (semua, sebagian besar,
banyak, beberapa, sedikit, selalu, sering kadang-kadang)
Contoh: Dia kadang-kadang sangat
menarik
(dengan menggunakan ‘kadang-kadang’
penutur menyampaikan bentuk-bentuk negatif yang tatarannya lebih tinggi dalam
skala kekerapan melalui implikatur ‘tidak selalu’)
Ketiga, implikatur
percakapan khusus, merupakan makna yang dituturkan dari percakapan dengan
mengetahui/ merujuk konteks (sosial) percakapan, hubungan antarpembicara serta
kebersamaan serta kebersamaan pengetahuan mereka.
Contoh:
Sugi :
“pergi kita ke pesta si Juna?”
Jaya :
“ayahku lagi datang.”
(Sugi harus mengetahui hubungan Jaya
dengan ayahnya. Jika misalnya, Sugi mengetahui bahwa Jaya berusaha menghindari
ayahnya dalam setiap kesempatan, maka implikatur yang diperoleh adalah “ya”)
Oleh karena itu, untuk menghasilkan
implikatur percakapan khusus dibutuhkan pengetahuan bersama di antara pembicara
dan pendengar.
c. Praanggapan
Praanggapan atau presuposisi yaitu
asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan lingusitik
tertentu.[8]
Perhatikan contoh berikut ini!
A : “aku sudah membeli bukunya Pak Agus
kemarin.”
B : “Buku Analisis Kalimat, kan?”
Praanggapan: sebelum bertutur, A memiliki
anggapan bahwa B mengetahui maksudnya, yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis
Pak Agus.
Sederhananya,
praanggapan adalah pendapat yang ada sebelum tuturan dituturkan oleh penutur
atau pendapat yang melandasi lahirnya ujaran tersebut. kesalahan dalam praanggapang
berefek pada ujaran manusia. Praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai
komunikatif.[9]
d. Tindak Tutur
Tindak
tutur (istilah kridalaksana) atau speech act adalah kegiatan seseorang
menggunakan bahasa kepada mitra tutur dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu.[10]
Searle membagi
tindak tutur menjadi tiga macam (1) Lokusi, adalah tindakan mengatakan makna
sintaksis kalimat yang bersangkutan. Tindakan ini sering disebut the act
saying something. (2) Ilokusi, adalah tindak tutur yang dilakuan untuk
menyatakan maksud atau fungsi tertentu. Tindak ini disebut the act of doing
something. (3) Perlokusi, adalah tindak tutur yang dilakukan untuk
mendapatkan efek psikologis tertentu. Tindakan ini disebut juga the act of
affecting someone.[11]
Perhatikan contoh berikut!
Baru-baru ini Walikota Bekasi telah
membuka Departement Store yang terletak dipusat perbelanjaan dengan tempat
parkir yang sangat luas.
Contoh di atas bukan
semata-mata untuk menginformasikan sesuatu (lokusi), tetapi secara tidak
langsung merupakan ajakan untuk berbelanja (ilokusi). Letak Departement
Store yang strategis diharapkan memiliki efek untuk membujuk para
pembacanya.
[1] I Dewa Putu Wijana, Op.Cit. h. 37.
[2] Ibid., h. 38.
[3] Hindun, Op.Cit., h. 36.
[4] I Dewa Putu Wijana, Op.Cit. h. 63.
[5] Ibid., h. 64.
[6] Ibid.
[7] Ibid., h. 70-72
[8] Louise Cummings, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner,
terj. Eti Setiawati, dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.
42.
[9] I Dewa Putu Wijana, Op.Cit. h. 79.
[10] Ibid., h. 86.
[11] Nuri Nurhaidah, Op.Cit., h. 40-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar