PEMBERONTAKAN BUDAYA DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI
Novel Tarian Bumi adalah novel yang
berlatarkan budaya Bali. Bali adalah salah satu daerah yang terkenal dengan kekentalan
budaya masyarakatnya. Masyarakat Bali dipandang sebagai orang yang teguh dalam
menjaga kebudayaan lokalnya. Namun, di dalam novel Tarian Bumi karya Oka
Rusmini – perempuan asli Bali – kebudayaan Bali dikupas dengan cara yang
berbeda dan sangat berani.
Oka
Rusmini melukiskan budaya Bali dalam novelnya mengenai Kasta. Masyarakat Bali
yang mayoritas agama Hindu mengenal dan menggunakan sistem kasta dalam
kehidupan bermasyarakat. Kasta tertinggi adalah Brahmana atau bangsawan,
sedangkan kasta terendah adalah Sudra. Sistem ini menjadikan laki-laki sebagai
puncak atau titik tolak segala sesuatu sehingga menimbulkan sebuah sistem yang
disebut dengan sistem patriarki.[1] Budaya
Bali inilah yang menjadi unsur penting cerita dalam novel Tarian Bumi.
Novel
Tarian Bumi mengisahkan tentang tokoh yang bernama Ida Ayu Telaga Pidada.
Telaga adalah sosok yang memutuskan untuk keluar (berontak) dari pakem budaya.
Bukan tanpa alasan Telaga memutuskan hal tersebut, hal ini dilatar belakangi
oleh nilai-nilai yang dicerminkan tokoh-tokoh lain kepada Telaga.
Kehadiran
Ida Ayu Telaga Pidada sebagai tokoh utama dilahirkan dari rahim seorang penari
bernama Luh Sekar dari kasta Sudra. Dengan menari, Luh Sekar bisa memiliki
penghasilan sekaligus bisa memikat hati Ida Bagus Ngurah Pidada, ayah Telaga.
Perihal judul novel Tarian Bumi ini, besar kemungkinkan untuk memperlihatkan
bagaimana sebab tokoh utama itu hadir.
Pemberontakan terhadap sistem patriarki
Sistme
patriarki di dalam kasta Bali yaitu perempuan yang tidak diperkenankan lebih
tinggi kastanya dari pada laki-laki. Hal ini membuat perempuan yang kastanya
lebih tinggi dari laki-laki akan berganti kasta sama dengan laki-lakinya
melalui pernikahan. Dengan hal inilah laki-laki menjadi tolok ukur bagi
perempuan.
Telaga
memiliki ibu bernama Luh Sekar dan ayah bernama Ida Bagus Ngurah Pidada. Ibu
Telaga adalah perempuan Sudra, perempuan kebanyakan yang disunting oleh
laki-laki Brahmana. Sedangkan ayah Telaga adalah laki-laki Brahmana, ia
digambarkan sebagai lelaki yang tidak bertanggung jawab; kerjanya hanya metajen,
adu ayam, minum tuak, dan sering membuat ulah.
“Ketololan laki-laki itu membuat Telaga merasa
bisa hidup tanpa laki-laki”[2]
Telaga
berontak terhadap sistem patriarki seperti pada contoh kutipan di atas karena
ayahnya memiliki watak yang benar-benar tidak pantas untuk menjadi seorang
ayah. Telaga tidak memandang ayahnya sebagai laki-laki yang dapat dijadikan
puncak atau titik tolak dari segala sesuatu.
“Bagi Telaga, dialah lelaki idiot yang harus
dipanggil dengan nama yang sangat agung, Aji, Ayah. Menjijikkan sekali! Lelaki
yang tidak bisa bersikap! Lelaki yang hanya bisa membanggakan kelelakiannya.
Bagaimana mungkin dia bisa dipercaya?”[3]
Pemberontakan
terhadap sistem patriarki nampak juga pada tokoh Luh Kenten (teman Luh Sekar).
Ia digambarkan sebagai perempuan yang memiliki tenaga sepuluh laki-laki,
tubuhnya sangat kuat dan tegap.
Luh Kenten mengatakan seperti itu karena benci
kepada seluruh laki-laki yang duduk santai di kedai kopi setiap pagi hingga
siang hari yang membicarakan perempuan dengan cara tidak hormat.
Oka
Rusmini lebih berani lagi “mendukung” pemberontakan terhadap sistem patriarki.
Ia membuat citra negatif terhadap seluruh tokoh laki-laki dan membuat citra
tokoh perempuan yang menjadi “korban” laki-laki – yang tidak mampu bertanggung
jawab – dapat menggantikan peran laki-laki dalam tatanan sosial. Wayan Sasmitha
(suami Ida Ayu Telaga Pidada) yang digambarkan mampu memberikan kebahagiaan
kepada Telaga pun dibuat citra negatif. Wayan Sasmitha meninggal di studio
lukisnya karena memiliki kelainan jantung setelah enam tahun usia
pernikahannya. Kematian Wayan Sasmitha secara tersirat mendukung ucapan Telaga
yang mampu hidup tanpa laki-laki.
Pemberontakan terhadap sistem kasta
Kasta Brahmana sebagai kasta tertinggi dan kasta
Sudra sebagai kasta terendah adalah kelas sosial yang diibaratkan langit dan bumi.
Keduanya dipertemukan dalam tatanan (Brahmana) yang diagungkan dan (Sudra)
mengagungkan.
“Dulu, tidak ada keluarga griya yang menikah dengan perempuan Sudra. Dilarang keras. Sebaliknya, perempuan Sudra tidak mau menikah dengan laki-laki bangsawan. Mereka takut
tidak bisa menyesuaikan hidup dengan gaya suaminya”[5]
Pemberontakan
terhadap sistem kasta diawali oleh Ayah dan Ibu Telaga. Keduanya dipersatukan
dalam ikatan pernikahan karena suatu “kebutuhan”. Luh Sekar sebagai seorang
penari yang begitu cantik dapat memikat hati Ida Bagus Ngurah Pidada.
Kesempatan ini juga dimanfaatkan Luh Sekar untuk menikahi laki-laki Brahmana
supaya lepas dari jeratan kemiskinan.
Pemberontakan
terhadap sistem kasta berada pada puncaknya ketika Ida Ayu Telaga Pidada sebagai
perempuan Brahmana menikah dengan Wayan Sasmitha sebagai laki-laki Sudra. Hal
ini membuat kecewa ibu Telaga karena merasa tidak sesuai dengan harapannya. Ibu
Wayan Sasmitha pun memberikan respon negatif terhadap pernikahannya karena
dianggap akan membawa kesialan bagi keluarganya.
“Meme harus tahu, tiang tidak menyesal menjadi
istri Wayan. Yang tiang sesalkan, begitu banyak orang yang merasa lebih
bangsawan daripada bangsawan sesungguhnya”[6]
Pemberontakan
Ida Ayu Telaga Pidada terhadap sistem kasta berbeda dengan Ibunya.
Pemberontakan Telaga didasarkan kepada ketulusan cintanya kepada Wayan dan
menganggap Wayan sebagai laki-laki yang tepat baginya.
Pemberontakan Budaya: Patriarki dan Kasta
Oka
Rusmini melalui tokoh Ida Bagus Tutur (kakek Telaga) memberikan konsep dasar
kebahagiaan.
“kebahagiaan itu tidak memiliki pakem. Tidak
ada kriteria idealnya. Semua orang memiliki warnanya yang berbeda, yang dia
dapatkan dari pengalaman hidup”[7]
Tidak ada jaminan untuk mendapatkan
kebahagiaan walaupun telah mengikuti sistem patriarki dan kasta. Ada suatu
kondisi di mana seseorang harus memberontak terhadap budaya untuk mendapatkan
sebuah kebahagiaan.
Patriarki
merupakan sistem yang menjadikan laki-laki sebagai puncak atau titik tolak
segala sesuatu sulit untuk diterima ketika laki-laki tersebut tidak dapat
dipercaya dan tidak mampu bertanggung jawab. Selaras dengan hal itu, sistem
kasta yang melarang keras pernikahan lintas kasta juga sulit diterima ketika
kecocokan hati lebih mengarahkan kepada orang yang berbeda kasta.
Oka
Rusmini melalui tokoh Ida Ayu Sagra Pidada (nenek Telaga) memberikan
nilai-nilai yang bisa mencapai sebuah kebahagiaan.
“kelak, kalau kau jatuh cinta pada seorang
laki-laki, kau harus mengumpulkan beratus-ratus pertanyaan yang harus kau
simpan. Jangan pernah ada orang lain tahu bahwa kau sedang menguji dirimu
apakah kau memiliki cinta yang sesungguhnya atau sebaliknya. Bila kau bisa
menjawab beratus-ratus pertanyaan itu, kau mulai memasuki tahap selanjutnya.
Apa untungnya laki-laki itu untukmu? ... Jangan pernah menikah hanya karena
kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah dengan laki-laki yang memberimu
ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinlah dirimu bahwa kau memang memerlukan
laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin jangan coba-coba mengambil
resiko”[8]
Oka Rusmini memberikan
nilai-nilai untuk mencapai sebuah kebahagiaan dalam kondisi ketika budaya
(sistem patriarki dan kasta) dianggap tidak mampu mengantarkan kepada
kebahagiaan. Ia menggambarkan bahwa perempuan berhak untuk memilih yang terbaik
bagi dirinya. Memilih laki-laki dengan cara tidak sembarangan dan menggunakan
pertimbangan yang matang. Selain itu, perempuan juga sebaiknya menikah dengan
laki-laki yang memberi ketenangan, cinta, dan kasih, bukan karena kebutuhan
atau dipaksa oleh sistem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar