BLOG TERBARU: buyungf.wordpress.com

Minggu, 03 Januari 2016

ANALISIS NOVEL TARIAN BUMI

PEMBERONTAKAN BUDAYA DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI

Novel Tarian Bumi adalah novel yang berlatarkan budaya Bali. Bali adalah salah satu daerah yang terkenal dengan kekentalan budaya masyarakatnya. Masyarakat Bali dipandang sebagai orang yang teguh dalam menjaga kebudayaan lokalnya. Namun, di dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini – perempuan asli Bali – kebudayaan Bali dikupas dengan cara yang berbeda dan sangat berani.
     Oka Rusmini melukiskan budaya Bali dalam novelnya mengenai Kasta. Masyarakat Bali yang mayoritas agama Hindu mengenal dan menggunakan sistem kasta dalam kehidupan bermasyarakat. Kasta tertinggi adalah Brahmana atau bangsawan, sedangkan kasta terendah adalah Sudra. Sistem ini menjadikan laki-laki sebagai puncak atau titik tolak segala sesuatu sehingga menimbulkan sebuah sistem yang disebut dengan sistem patriarki.[1] Budaya Bali inilah yang menjadi unsur penting cerita dalam novel Tarian Bumi.
     Novel Tarian Bumi mengisahkan tentang tokoh yang bernama Ida Ayu Telaga Pidada. Telaga adalah sosok yang memutuskan untuk keluar (berontak) dari pakem budaya. Bukan tanpa alasan Telaga memutuskan hal tersebut, hal ini dilatar belakangi oleh nilai-nilai yang dicerminkan tokoh-tokoh lain kepada Telaga.
     Kehadiran Ida Ayu Telaga Pidada sebagai tokoh utama dilahirkan dari rahim seorang penari bernama Luh Sekar dari kasta Sudra. Dengan menari, Luh Sekar bisa memiliki penghasilan sekaligus bisa memikat hati Ida Bagus Ngurah Pidada, ayah Telaga. Perihal judul novel Tarian Bumi ini, besar kemungkinkan untuk memperlihatkan bagaimana sebab tokoh utama itu hadir.


Pemberontakan terhadap sistem patriarki
     Sistme patriarki di dalam kasta Bali yaitu perempuan yang tidak diperkenankan lebih tinggi kastanya dari pada laki-laki. Hal ini membuat perempuan yang kastanya lebih tinggi dari laki-laki akan berganti kasta sama dengan laki-lakinya melalui pernikahan. Dengan hal inilah laki-laki menjadi tolok ukur bagi perempuan.
     Telaga memiliki ibu bernama Luh Sekar dan ayah bernama Ida Bagus Ngurah Pidada. Ibu Telaga adalah perempuan Sudra, perempuan kebanyakan yang disunting oleh laki-laki Brahmana. Sedangkan ayah Telaga adalah laki-laki Brahmana, ia digambarkan sebagai lelaki yang tidak bertanggung jawab; kerjanya hanya metajen, adu ayam, minum tuak, dan sering membuat ulah.
“Ketololan laki-laki itu membuat Telaga merasa bisa hidup tanpa laki-laki”[2]
     Telaga berontak terhadap sistem patriarki seperti pada contoh kutipan di atas karena ayahnya memiliki watak yang benar-benar tidak pantas untuk menjadi seorang ayah. Telaga tidak memandang ayahnya sebagai laki-laki yang dapat dijadikan puncak atau titik tolak dari segala sesuatu.
“Bagi Telaga, dialah lelaki idiot yang harus dipanggil dengan nama yang sangat agung, Aji, Ayah. Menjijikkan sekali! Lelaki yang tidak bisa bersikap! Lelaki yang hanya bisa membanggakan kelelakiannya. Bagaimana mungkin dia bisa dipercaya?”[3]
 Pemberontakan terhadap sistem patriarki nampak juga pada tokoh Luh Kenten (teman Luh Sekar). Ia digambarkan sebagai perempuan yang memiliki tenaga sepuluh laki-laki, tubuhnya sangat kuat dan tegap.
“Aku akan buktikan, kita bisa hidup tanpa laki-laki. Aku akan buktikan ucapan ini[4]
Luh Kenten mengatakan seperti itu karena benci kepada seluruh laki-laki yang duduk santai di kedai kopi setiap pagi hingga siang hari yang membicarakan perempuan dengan cara tidak hormat.
     Oka Rusmini lebih berani lagi “mendukung” pemberontakan terhadap sistem patriarki. Ia membuat citra negatif terhadap seluruh tokoh laki-laki dan membuat citra tokoh perempuan yang menjadi “korban” laki-laki – yang tidak mampu bertanggung jawab – dapat menggantikan peran laki-laki dalam tatanan sosial. Wayan Sasmitha (suami Ida Ayu Telaga Pidada) yang digambarkan mampu memberikan kebahagiaan kepada Telaga pun dibuat citra negatif. Wayan Sasmitha meninggal di studio lukisnya karena memiliki kelainan jantung setelah enam tahun usia pernikahannya. Kematian Wayan Sasmitha secara tersirat mendukung ucapan Telaga yang mampu hidup tanpa laki-laki.

Pemberontakan terhadap sistem kasta
     Kasta Brahmana sebagai kasta tertinggi dan kasta Sudra sebagai kasta terendah adalah kelas sosial yang diibaratkan langit dan bumi. Keduanya dipertemukan dalam tatanan (Brahmana) yang diagungkan dan (Sudra) mengagungkan.
Dulu, tidak ada keluarga griya yang menikah dengan perempuan Sudra. Dilarang keras. Sebaliknya, perempuan Sudra tidak mau menikah dengan laki-laki bangsawan. Mereka takut tidak bisa menyesuaikan hidup dengan gaya suaminya”[5]
     Pemberontakan terhadap sistem kasta diawali oleh Ayah dan Ibu Telaga. Keduanya dipersatukan dalam ikatan pernikahan karena suatu “kebutuhan”. Luh Sekar sebagai seorang penari yang begitu cantik dapat memikat hati Ida Bagus Ngurah Pidada. Kesempatan ini juga dimanfaatkan Luh Sekar untuk menikahi laki-laki Brahmana supaya lepas dari jeratan kemiskinan.
     Pemberontakan terhadap sistem kasta berada pada puncaknya ketika Ida Ayu Telaga Pidada sebagai perempuan Brahmana menikah dengan Wayan Sasmitha sebagai laki-laki Sudra. Hal ini membuat kecewa ibu Telaga karena merasa tidak sesuai dengan harapannya. Ibu Wayan Sasmitha pun memberikan respon negatif terhadap pernikahannya karena dianggap akan membawa kesialan bagi keluarganya.
“Meme harus tahu, tiang tidak menyesal menjadi istri Wayan. Yang tiang sesalkan, begitu banyak orang yang merasa lebih bangsawan daripada bangsawan sesungguhnya”[6]
     Pemberontakan Ida Ayu Telaga Pidada terhadap sistem kasta berbeda dengan Ibunya. Pemberontakan Telaga didasarkan kepada ketulusan cintanya kepada Wayan dan menganggap Wayan sebagai laki-laki yang tepat baginya.

Pemberontakan Budaya: Patriarki dan Kasta
     Oka Rusmini melalui tokoh Ida Bagus Tutur (kakek Telaga) memberikan konsep dasar kebahagiaan.
“kebahagiaan itu tidak memiliki pakem. Tidak ada kriteria idealnya. Semua orang memiliki warnanya yang berbeda, yang dia dapatkan dari pengalaman hidup”[7]
Tidak ada jaminan untuk mendapatkan kebahagiaan walaupun telah mengikuti sistem patriarki dan kasta. Ada suatu kondisi di mana seseorang harus memberontak terhadap budaya untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan.
     Patriarki merupakan sistem yang menjadikan laki-laki sebagai puncak atau titik tolak segala sesuatu sulit untuk diterima ketika laki-laki tersebut tidak dapat dipercaya dan tidak mampu bertanggung jawab. Selaras dengan hal itu, sistem kasta yang melarang keras pernikahan lintas kasta juga sulit diterima ketika kecocokan hati lebih mengarahkan kepada orang yang berbeda kasta.
     Oka Rusmini melalui tokoh Ida Ayu Sagra Pidada (nenek Telaga) memberikan nilai-nilai yang bisa mencapai sebuah kebahagiaan.
“kelak, kalau kau jatuh cinta pada seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan beratus-ratus pertanyaan yang harus kau simpan. Jangan pernah ada orang lain tahu bahwa kau sedang menguji dirimu apakah kau memiliki cinta yang sesungguhnya atau sebaliknya. Bila kau bisa menjawab beratus-ratus pertanyaan itu, kau mulai memasuki tahap selanjutnya. Apa untungnya laki-laki itu untukmu? ... Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah dengan laki-laki yang memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinlah dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin jangan coba-coba mengambil resiko”[8]
            Oka Rusmini memberikan nilai-nilai untuk mencapai sebuah kebahagiaan dalam kondisi ketika budaya (sistem patriarki dan kasta) dianggap tidak mampu mengantarkan kepada kebahagiaan. Ia menggambarkan bahwa perempuan berhak untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Memilih laki-laki dengan cara tidak sembarangan dan menggunakan pertimbangan yang matang. Selain itu, perempuan juga sebaiknya menikah dengan laki-laki yang memberi ketenangan, cinta, dan kasih, bukan karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem.



[2] Ibid., h. 10.
[3] Ibid., h. 12.
[4] Ibid., h. 34.
[5] Ibid., h. 113.
[6] Ibid., h. 174.
[7] Ibid., h. 126.
[8] Ibid., h. 17-18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar