BLOG TERBARU: buyungf.wordpress.com

Minggu, 03 Januari 2016

SEJARAH PRAGMATIK (Ringkasan)

Telah dinyatakan dalam pendahuluan bahwa setiap aspek dalam prinsip pragmatik tentunya merupakan teori-teori dari para ahli. Kehadiran berbagai teori dalam prinsip pragmatik tidak terlepas dari sejarah pragmatik para tokoh yang mengembangkan teori-teori pragmatik.
      Dalam buku sumber karya Nuri Nurhaidah,[1] telah dipaparkan mengenai sejarah pragmatik. Pada masa bergeliatnya penelitian bahasa 1938, seorang tokoh bernama Morris dianggap sebagai peletak dasar lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang; sinatksis, semantik, dan pragmatik. Pragmatik tumbuh di Eropa pada tahun 1940-an dan berkembang di Amerika sejak 1970-an, sedangkan di Indonesia pada tahun 1984.
      Pada tahun 1960, Halliday mengembangkan pragmatik dengan berusaha mengembagkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial.
      Pada tahun 1962, Austin dan Searle mengembangkan teori Tindak Tutur. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words. Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif. Gagasan penting lainnya adalah tentang tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
      Pada tahun 1969, Searle mencetuskan teori tindak tutur yang dikategorisasikan berdasarka makna dan fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisih, dan deklaratif.
      Tokoh selanjutnya adalah Grice pada tahun 1975. Ia mencetuskan teori tentang prinsip kerja sama dan implikasi percakapan. Prinsip ini terdiri dari empat bidal, yaitu: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara.
      Pada tahun 1976, Keenan mengembangkan teori Grice dan pada tahun 1978 Goody mengembangkan teori Grice juga. Tidak kalah menariknya juga tokoh yang mengkritisi teori tindak tutur adalah Fraser di tahun 1978, ia melakukan deskrispi ulang tentang jenis tindak tutur. Begitu pula dengan Gadzar membicarakan bidang pragmatik dengan tekanan pada tiga topik yaitu: implikatur, praanggapan, dan bentuk logis.
      Pada tahun 1982, Gumperz mengembangkan teori implikatur Grize dalam bukunya Discourse Strategies. Kemudian pada tahun 1983 Levinson menyempurnakan pendapat Grize tentang teori implikatur.
      Pada tahun 1983, Leech mulai mengemukakan gagasan tentang prinsip kesantunan dengan kaidah yang dirumuskannya ke dalam enam bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahatian, kesetujuan, dan kesimpatian.
      Pada tahun 1993, Mey mengemukakan gagasan baru tentang pembagian pragmatik: miropragmatik dan makropragmatik. Ditempat lain adalah Schiffrin pada tahun 1994 yang membahas pelbagai kajian wacana dengan menggunakan pendekatan pragmatik.
      Pada tahun 1996, Yule mengembangkan teori tentang hubungan dengan keberadaan tamengan atau hedges dan tuturan langsung-tak langsung. Kemudian pada tahun 1998-2000, Van Dijk secara serius mengembangkan model pragmatik dan analisis wacana kritis atau Critical Discourse Analysis (CDA) di dalam teks berita. Ia mengidentifikasi adanya lima karakteristik yang harus dipertimbangkan di dalam CDA, yaitu: tindakan, konteks, historis, kekuasaan, ideologi.
      Istilah pragmatik di Indonesia baru muncul pada 1984 ketika diberlakukannya kurikulum Sekolah Menengah Atas. Dalam kurikulum ini pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan studi bahasa Indonesia di dalam panduan Dedikbud.
      Beberapa karya tentang pragmati yang membahas secara umum dilakukan oleh Tarigan (1986), Nababan dan Samsuri (1987), dan Suyono (1990) yang masih memiliki kesan memperkenalkan pragmatik.
      Buku pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo sekitar tahun 1990 yang berjudul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Indonesia.
      Pada tahun 1996 Wijana mengembangkan beberapa dasar pragmatik yang berjudul Dasar-Dasar Pragmatik. Dalam buku tersebut sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam. Kemudian, beberapa penelitian telah dilakukan di antaranya adalah Kaswanti Purwo (1984), Rofiudin (1994), Gunawan (1992-1995), dan Rustono (1998).

Itulah sejarah pragmatik. Di mana banyak pakar yang telah menyumbangkan gagasannya untuk terus mengembangkan keilmuan ini sehingga pragmatik menjadi salah satu ilmu bahasa yang penting untuk dipelajari.



[1] Ibid., h. 27-30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar